Srengenge

Srengenge
Bagai sang Surya menyinari dunia

Tuesday, December 23, 2008

Bermain Politis

"Aturan Main"

"Papan Atas"
Sekarang ini banyak sekali dari kalangan "papan atas" bingung dengan penerapan hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam tetek bengek lainnya mengenai tata negara.
"Studi banding" ke manca tanpa hasil yang pasti terus dijalankan, tanpa melihat bahwa di dekatnya telah ada aturan, tata cara untuk membangun suatu negara makmur sentosa.
Pakai prinsip "ini itu" biar keren, katanya seperti negara maju tapi tidak maju-maju malah mengalami kemerosotan di segala bidang.
Saya sendiri heran dengan sikap mereka, apa maksud dan tujuan mereka menjadi wakil rakyat, menjadi pemimpin bagi negeri penuh dengan segala materi.
Padahal di sini begitu banyak harta melimpah tanpa harus mencari ke negeri orang, tanpa harus meminta-minta, kita bisa berdiri pada kaki sendiri (Bung Karno).
Kata mereka, berjuang demi rakyat adalah hal yang utama, benar saja lha wong mereka juga bagian dari rakyat, jadi mereka berjuang demi diri sendiri tanpa peduli masa depan negeri ini.
Begitu banyak harta negeri ini yang telah dibawa ke manca, juga dikeruk oleh mereka yang mempunyai "power" lebih melebihi superman.
Dari sekian banyak kalangan "papan atas" berapa orang yang mempunyai mobil tidak lebih dari satu, itu pun mobil mewah, masalahnya kalau tidak mewah bisa mutah-mutah kena goncangan.
Secara matematika, uang yang mereka gunakan untuk hidup mewah bisa mengangkat beberapa bahkan puluhan orang berekonomi lemah, nah hal itu tidak dilakukan.
Saya tanya, mau dikemanakan uang mereka? Kalau dibuat rumah cuma jadi rumah-rumahan, kalau dibuat mobil juga mobil-mobilan, yang ini paling parah, kalau dibuat kain kafan, terlalu banyak menghabiskan lem.

Sebenarnya jika kita berani mengambil keputusan dalam segala hal, apakah itu politik, ekonomi, hukum, sosial-budaya, hankam, dan segala hal yang berkaitan dengan negara dan kemakmuran rakyat.
Maka kita akan lebih bisa berpikir positif, berpikir ke depan tanpa harus ada keraguan menjelma "Buta" yang terus mengganggu proses menuju ke arah itu.
Untuk menuju suatu masyarakat madani atau suatu negara yang makmur adil sentosa, sangatlah mudah tanpa harus memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Jika AKUnya masih saja ditonjolkan, negara ini tidak akan pernah mengalami kemajuan, tapi menciptakan orang-orang serakah tanpa "batas-batas pinggir".
Orang-orang inilah pada akhirnya yang menggerogoti kekayaan bumi nusantara, menghancurkan dari dalam, menyiksa rakyatnya, padahal dia sendiri bagian dari rakyat, jadi dia juga akan merasakan akibatnya.

Untuk menciptakan suatu negeri makmur bisa dilihat dalam aturan yang telah diberikan Tuhan melalui para utusannya, terutama utusan Tuhan yang paling akhir yaitu Rasulullah Muhammad bin Abdullah, duniapun mengakui kehebatannya.
Semestinya kita mencontoh pada pemimpin yang keberhasilannya telah diakui oleh dunia, semua hal yang kita butuhkan telah ada di situ, tinggal kita sendiri, apakah mempunyai kemauan yang kuat untuk mewujudkan sistem yang telah di bawa Rasulullah Muhammad.
Jujur saja secara obyektif sistem di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah mampu membawa masyarakat Mekkah dan Madinah bersatu membangun suatu negara modern menciptakan "SUPER SUKU", di dalamnya tidak ada perbedaan.
Tanpa dipungkiri, dalam hati dan benak kita membenarkan hal itu, hanya saja kita takut untuk mewujudkan peradaban modern yang telah dibawa Islam selama berabad-abad lamanya.

Kenapa harus takut?
Untuk mewujudkan ajaran Rasulullah Muhammad, kita harus berani meninggalkan segala sesuatu yang ingin kita miliki sendiri.
Kita terlalu sombong dengan aturan main kita sendiri, takut jika dengan menerapkan aturan Tuhan akan mencelakakan diri kita sendiri, padahal dia sudah celaka dengan meninggalkan aturan Tuhan.
Ketakutan karena tidak bisa makan nantinya, takut dengan bayang-bayang sendiri itu tidak lumrah tidak benar, lha wong setiap hari bayangan selalu mengikuti kita.
Takut tidak bisa beli mobil mewah, rumah mewah, gaya hidup mewah, koleksi barang antik, terkenal, dipuja-puja, juga tidak bisa pergi belanja ke manca negara, gengsi katanya.

"Papan Bawah"
Coba kita tengok saudara kita yang sedang tidur di bawah kolong jembatan, mendengkur keras tanpa alas dan tanpa selimut, tapi tetap saja terasa seperti tidur di atas kasur empuk.
"Papan Atas" bilang "mereka tidak mau berusaha, tidak berani berspekulasi, malas, dan tidak mau dengan aturan main saat ini."
"Papan Bawah" membantah mentah-mentah tanpa pikir panjang, mengalir sejalan dengan naluri mereka dengan insting alam mereka.
"Bagaimana kami berusaha, berani berspekulasi, kerja keras, lha wong aturan main itu dibuat demi keuntungan "Papan Atas", belok sini buntu, belok sana buntu, lurus pun buntu, terus mau kemana? Mending tidur saja."
Tapi ada lho orang-orang "Papan Bawah" yang bener-bener malas, mereka sama sekali tidak peduli "angin ribut" bahkan banjir bandang sekalipun mereka anggap hal biasa jaman sekarang ini.
"Gusti iku wis menehi panggonan marang wong, saben panggonan wis ana jatahe dhewe-dhewe, ora usah meri karo liyane, gelem nrima ing pandum."
Sebenarnya kata-kata itu mempunyai makna sangat dalam jika mau dipikirkan dan dilakukan, Tuhan tidak pernah memberikan secara cuma-cuma rejekinya pada makhluknya, harus berusaha sekuat mungkin, kalau tidak kuat baru menerima ketentuan-Nya.
Kalau "Papan Bawah" masih bisa berkata menemukan jalan buntu, berarti mereka telah berani berusaha untuk keluar dari kondisi mereka, orang-orang seperti ini telah menerapkan pepatah "Alon-alon Waton Kelakon"

"Benang Merah"
Untuk pabrik benang, saya rasa mudah sekali menemukan "Benang Merah", malah banyak sekali macam-macam warna tersedia di gudangnya, jadi kita tinggal pilih warna apa pasti ada.
Yang atas seenaknya sendiri, yang bawah sudah merasa curiga hingga menimbulkan rasa aras-arasen, seperti musim hujan membuat manusia kedinginan dan lebih enak tinggal di dalam rumah saja.
"Papan Atas" sudah keenakan menikmati hasil "jerih payahnya", "Papan Bawah" sudah dicekoki dengan rasa "nrima ing pandum", katanya "ngene ya wis cukup, sing penting isa mangan lan turu tanpa pikiran neka-neka."
Seharusnya mereka saling bantu, atas menarik bawah mendorong, sehingga akan ada kekuatan dari atas dan bawah untuk menggerakkan suatu sistem Tuhan.
Karena Tuhan tidak menciptakan sistem instan, itu hanya akan mematikan hati dan pikiran manusia, instan pun tidak baik untuk tubuh yang oleh Tuhan diberi kekuatan otot dan akal pikiran.

"Thuk-thukane"
Pemimpin yang benar itu bisa berempati pada rakyatnya, merasa bahwa dirinya bagian dari rakyat juga, muncul dari rakyat berusaha untuk rakyat, itu baru pemimpin berani. Asal tidak berpikiran "nyamin"
Berani mengambil keputusan-keputusan benar, meski banyak pendemo-pendemo liar, tidak dibayar tidak koar-koar.
Pemimpin itu alas kaki rakyatnya, "ya kanggo mlaku ya kanggo keset kudu gelem ning karo mingkem", karena rakyat itu bagaikan raja bagi pemimpinnya.
"Ning aja dumeh" rakyat itu raja terus seenaknya memerintah pemimpin, suruh sana suruh sini, tidak cocok ganti, tidak sreg bludreg.
Kalau sudah diputuskan ya itu keputusannya harus siap menanggung segala resiko bersama, nah jika resiko datang, dihadapi bersama-sama pemimpinnya juga rakyatnya tanpa harus mencari kambing hitam dulu.
Berani karena benar takut karena salah, bukan berani karena tidak ada saksi, takut karena nyali ciut.